Titin Anggraeni. Begitulah nama bocah perempuan malang asal Praya Lombok
Tengah tersebut. Meski usianya sudah 13 tahun namun sampai sekarang
bobot tubuhnya tidak lebih dari usianya. Sejak umur enam bulan ia
menderita penyakit misterius yang menyebabkan perkembangan fisik dan
fungsi motoriknya terganggu. Yang lebih membuat perasaan terenyuh adalah
selama 12,5 tahun ia hanya bisa terbaring di atas tempat tidur karena
tubuhnya tidak bisa duduk dan berdiri. Dalam perjalanan panjang dia
menderita penyakit tumbuh kembang tersebut, ia tidak bisa merasakan
pengobatan yang layak dan memadai karena keterbatasan ekonomi
keluarganya. Pak Tatang adalah sang ayah yang sehari-harinya hanya
berprofesi sebagai tukang ojek dengan penghasilan tidak lebih dari 20
ribu rupiah, sedangkan Nikmah, sang ibu, tidak ketinggalan berusaha
membantu menopang kebutuhan keluarga dengan berjualan nasi di teras
rumah.
“Saya hanya berjualan didepan rumah mas” tuturnya dalam bahasa Sasak (bahasa asli Lombok)
“Dari pengalaman berjualan biasanya balik modal cuma setengahnya saja.
Kalau modalnya 150 ribu nanti setelah jualan paling-paling yang
keliatan cuma 75 ribu” tambahnya lirih
Meski sibuk berjualan, Ibu Nikmah tidak pernah kekurangan dalam
memberikan curahan perhatian, waktu dan kasih sayangnya kepada sang
putri. Kerap kali ketika sedang memasak atau berjualan, Ia harus
melepas semuanya ketika si buah hati menangis sebagai isyarat untuk
segera menggendong dan menyuapinya.
“Sejak mengalami sakit 12,5 tahun yang lalu, Titin hanya mengkonsumsi minuman energen untuk menyambung hidupnya” ceritanya.
Pikiranku sempat seolah tidak percaya ketika mendengar penuturan beliau. Sebuah realita yang tidak biasa terpapar di hadapan.
“Dalam sehari Titin bisa menghabiskan rata-rata 18-20 bungkus. Kalau
kurang dari itu biasanya dia nangis terus, jadinya tidak tahan mas”
ucapnya.
Wow… mendengar penuturan tersebut, sontak logika matematika saya
langsung menghitung berapa biaya yang harus ditanggung oleh orang tua
ini untuk memenuhi kebutuhan hidup putrinya. Hasilnya, sederet digit
yang tidak kecil nilainya bagi ukuran keluarga ini.
Dengan kondisi serba terbatas tesebut, kerap kali sang suami , Pak
Tatang, harus berjalan dari satu pintu ke pintu lainnya untuk mengetuk
hati para pejabat, tokoh masyarakat, media dan lain sebagainya agar
berkenan mengulurkan tangan mereka untuk membantu pengobatan Titin.
Namun harapannya seringkali harus pupus karena orang-orang yang
didatangi tidak bisa memberikan bantuan kecuali hanya sekedar janji dan
rasa perihatin. Pemerintah yang harusnya bisa memberikan bantuan juga
tidak menjalankan fungsi sesuai amanah yang diemban. Sungguh ironi
memang.
Setelah kenyang dengan berbagai penolakan, akhirnya wajah keluarga ini
bisa sedikit lebih sumringah setelah mendapat bantuan dari DASI NTB
yang merupakan jejaring Dompet Dhuafa di daerah. Dengan ikhtiar yang
dilakukan bersama antar teman-teman DASI NTB dan LKC DD, kini Titin bisa
merasakan kesempatan mengunjungi RSCM Jakarta untuk menjalani
pengobatan yang lebih layak.
“Kami bersyukur atas bantuan dari DASI dan LKC. Karena bantuan mereka kami bisa membawa Titin ke RSCM” imbuh Pak Tatang.
Kini, sudah sekitar satu bulan Titin dirawat. Selama menjalani proses
perawatan tersebut keluarga Pak Tatang tinggal di shelter yang
disediakan oleh LPM DD. Segala kebutuhan hidup sehari-hari ditanggung
oleh DASI NTB yang merupakan hasil uluran tangan dari para donaturnya.
Inilah salah satu realita tentang bagaimana potret perjuangan keluarga
miskin di Indonesia dalam mengakses hak-hak dasar mereka. Semoga
semakin banyak masyarakat kita yang mampu mau berbagi kepeduliaan
dengan sesama. Tanpa melupakan bahwa seharusnya aparatus negara sadar
bahwa mereka telah absen didalam menunaikan amanah yang diemban.
Astaghfirullahal Adzim.
My Facebook
Kategori
- Movie (3)
- Music (2)
- Nilai Kehidupan (11)
- Novel (3)
- Pantun (4)
- Pengetahuan (3)
- Puisi kehidupan (5)
- Puisi ungkapan hati (3)
- Sejarah (8)
- Syair (4)
- video (3)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: