Selasa, 23 Oktober 2012

Perjuangan si bocah miskin

Titin Anggraeni. Begitulah nama bocah perempuan malang asal Praya Lombok Tengah tersebut. Meski usianya sudah 13 tahun namun sampai sekarang bobot tubuhnya tidak lebih dari usianya. Sejak umur enam bulan ia menderita penyakit misterius yang menyebabkan perkembangan fisik dan fungsi motoriknya terganggu. Yang lebih membuat perasaan terenyuh adalah selama 12,5 tahun ia hanya bisa terbaring di atas tempat tidur karena tubuhnya tidak bisa duduk dan berdiri. Dalam perjalanan panjang dia menderita penyakit tumbuh kembang tersebut, ia tidak bisa merasakan pengobatan yang layak dan memadai karena keterbatasan ekonomi keluarganya. Pak Tatang adalah sang ayah yang sehari-harinya hanya berprofesi sebagai tukang ojek dengan penghasilan tidak lebih dari 20 ribu rupiah, sedangkan Nikmah, sang ibu, tidak ketinggalan berusaha membantu menopang kebutuhan keluarga dengan berjualan nasi di teras rumah.
“Saya hanya berjualan didepan rumah mas” tuturnya dalam bahasa Sasak (bahasa asli Lombok)

“Dari pengalaman berjualan biasanya balik modal cuma setengahnya saja. Kalau modalnya 150 ribu nanti setelah jualan paling-paling yang keliatan cuma 75 ribu” tambahnya lirih
Meski sibuk berjualan, Ibu Nikmah tidak pernah kekurangan dalam memberikan curahan perhatian, waktu dan kasih sayangnya kepada sang putri. Kerap kali ketika sedang memasak atau berjualan, Ia harus melepas semuanya ketika si buah hati menangis sebagai isyarat untuk segera menggendong dan menyuapinya.
“Sejak mengalami sakit 12,5 tahun yang lalu, Titin hanya mengkonsumsi minuman energen untuk menyambung hidupnya” ceritanya.
Pikiranku sempat seolah tidak percaya ketika mendengar penuturan beliau. Sebuah realita yang tidak biasa terpapar di hadapan.
“Dalam sehari Titin bisa menghabiskan rata-rata 18-20 bungkus. Kalau kurang dari itu biasanya dia nangis terus, jadinya tidak tahan mas” ucapnya.
Wow… mendengar penuturan tersebut, sontak logika matematika saya langsung menghitung berapa biaya yang harus ditanggung oleh orang tua ini untuk memenuhi kebutuhan hidup putrinya. Hasilnya, sederet digit yang tidak kecil nilainya bagi ukuran keluarga ini.
Dengan kondisi serba terbatas tesebut, kerap kali sang suami , Pak Tatang, harus berjalan dari satu pintu ke pintu lainnya untuk mengetuk hati para pejabat, tokoh masyarakat, media dan lain sebagainya agar berkenan mengulurkan tangan mereka untuk membantu pengobatan Titin. Namun harapannya seringkali harus pupus karena orang-orang yang didatangi tidak bisa memberikan bantuan kecuali hanya sekedar janji dan rasa perihatin. Pemerintah yang harusnya bisa memberikan bantuan juga tidak menjalankan fungsi sesuai amanah yang diemban. Sungguh ironi memang.
Setelah kenyang dengan berbagai penolakan, akhirnya wajah keluarga ini bisa sedikit lebih sumringah setelah mendapat bantuan dari DASI NTB yang merupakan jejaring Dompet Dhuafa di daerah. Dengan ikhtiar yang dilakukan bersama antar teman-teman DASI NTB dan LKC DD, kini Titin bisa merasakan kesempatan mengunjungi RSCM Jakarta untuk menjalani pengobatan yang lebih layak.
“Kami bersyukur atas bantuan dari DASI dan LKC. Karena bantuan mereka kami bisa membawa Titin ke RSCM” imbuh Pak Tatang.
Kini, sudah sekitar satu bulan Titin dirawat. Selama menjalani proses perawatan tersebut keluarga Pak Tatang tinggal di shelter yang disediakan oleh LPM DD. Segala kebutuhan hidup sehari-hari ditanggung oleh DASI NTB yang merupakan hasil uluran tangan dari para donaturnya.
Inilah salah satu realita tentang bagaimana potret perjuangan keluarga miskin di Indonesia dalam mengakses hak-hak dasar mereka. Semoga semakin banyak masyarakat kita yang mampu mau berbagi kepeduliaan dengan sesama. Tanpa melupakan bahwa seharusnya aparatus negara sadar bahwa mereka telah absen didalam menunaikan amanah yang diemban. Astaghfirullahal Adzim.

0 komentar: